Biofuel vs Kecukupan Pangan vs Gaya Konsumsi Pangan
Prof. Dr. C. Hanny Wijaya
Tema
kali ini cukup menguras pemikiran penulis untuk dapat mengkaitkannya
dengan bidang keahlian yang penulis miliki. Hingga tenggat waktu yang
teralokasikan , hasilnya tetap nihil. Oleh karenanya tak ada pilihan,
perkenankan tulisan kali ini lebih menyuarakan hati seorang pengamat
awam yang prihatin dan resah.
Solusi krisis energi
dengan mengalihkan kebutuhan akan energi fosil ke bioenergi yang diperoleh dari hasil pertanian, sejak awal telah mengusik penulis sebagai orang yang lekat dengan dunia pangan. Pengalihan ini pasti akan menjadi bom waktu karena perebutan sumber bahan baku akan menjadi masalah berikutnya. Kita semua tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan saja saat ini masih dirasakan kurang. Luas dunia untuk lahan pertanian tidak bertambah, pelaku pertanian pun semakin surut. Nah apa jadinya bila perolehan yang terbatas tersebut kini akan diperebutkan untuk diubah menjadi energi pangan atau biofuel?
dengan mengalihkan kebutuhan akan energi fosil ke bioenergi yang diperoleh dari hasil pertanian, sejak awal telah mengusik penulis sebagai orang yang lekat dengan dunia pangan. Pengalihan ini pasti akan menjadi bom waktu karena perebutan sumber bahan baku akan menjadi masalah berikutnya. Kita semua tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan saja saat ini masih dirasakan kurang. Luas dunia untuk lahan pertanian tidak bertambah, pelaku pertanian pun semakin surut. Nah apa jadinya bila perolehan yang terbatas tersebut kini akan diperebutkan untuk diubah menjadi energi pangan atau biofuel?
Mungkin
kita sering lupa bahwa manusia pun memerlukan sumber energi yang diubah
oleh tubuh untuk bisa hidup, bertumbuh dan bergerak, dan asupan bahan
untuk membuat energi tersebut adalah bahan pangan. Pangan adalah sumber
energi bagi manusia yang sangat langsung berimbas kelangsungan
hidupnya. Bagi sebagian besar manusia yang sangat beruntung kelimpahan
dan kemudahan memperolehnya membuat orang terbuai untuk tidak
memperhatikannya.
Bioenergi
Di
atas kertas penggunaan bio-energi yang dapat terbarukan merupakan
alternatif jitu untuk menggantikan energi fosil yang kita nikmati
sebagai minyak bumi. Suatu sumber energi yang memerlukan ribuan tahun
untuk memperolehnya kembali. Bio-energi memang dapat diperoleh dari
semua produk pertanian apa pun bentuknya. Mulai dari tumbuhan hingga
hewan. Penggunaan tumbuhan sebagai bioenergi sebetulnya sudah dikenal
sejak nenek moyang kita, yaitu kayu bakar dan selanjutnya berkembang
menjadi arang. Tantangan utama adalah modifikasi dan efisiensi.
Energi
adalah kekal adanya. Fenomena alam akan mengubah energi ke dalam
berbagai bentuk seperti misalnya api akan memberikan energi panas yang
dapat diubah menjadi energi mekanis, demikian juga misalnya energi
mekanik dapat diubah menjadi energi listrik dan seterusnya. Energi
selalu berubah bentuk namun tidak pernah hilang.
Pada bio-energi pada dasarnya manusia bersandar pada energi dari matahari. Pancaran
sinar matahari akan ditangkap dan diubah menjadi bentuk energi lain
terutama oleh tumbuhan dengan klorofilnya. Tumbuhan merupakan pengubah
energi matahari yang paling efisien dan dengan cara paling murah karena
merupakan rantai pertama dalam pemanfaatan energi dari matahari. Itulah
sebabnya kita banyak menggunakan tanaman sebagai penghasil pangan utama
(staple foods), terutama dari kelompok karbohidrat seperti nasi, gandum,
sagu, jagung dsb. Hal itu juga menjadi alasan mengapa minyak dari
tumbuhan merupakan sumber bio-energi yang paling banyak dilirik saat ini
untuk dikembangkan. Pertanyaannya mungkin kenapa bukan dari
karbohidrat saja, mengapa dalam hal ini minyaknya? Salah alternatif
jawaban adalah dengan melihat efisiensi pada satuan berat yang
samadimana minyak akan menghasilkan 9 kalori bagi tubuh sedang
karbohidrat yang hanya 4 kalori.
Terlepas
dari itu, semua bagian tanaman pasti akan menghasilkan energi juga.
Termasuk juga sampah organik yang seharusnya tidak saja dapat diubah
menjadi kompos organik tetapi juga menghasilkan energi. Bahkan kotoran
hewan dan manusia pun dapat diubah menjadi sumber energi, baik berupa
gas maupun pelet-pelet setelah dipisahkan dari kandungan airnya. Oleh
karena, bila diupayakan harmonisasi dari penggunaan sumber-sumber non
pangan sebagai penyumbang bioenergi alternatif, perbenturan antara
penggunaan hasil pertanian sebagai biofuel atau pangan dapat dilunakkan.
Meningkatkan atau mengurangi ?
Suatu
hal yang lumrah bila kita mengalami kelangkaan akan sesuatu, maka upaya
utama yang dilakukan adalah peningkatan pengadaan. Sering tidak
disadari bahwa nafsu kserakahan pada diri manusia akan membawa
malapetaka bila pendekatan ini yang selalu dilakukan. Pada titik mana
pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan bila titik kepuasan tak terkendali?
Seberapa jauh alam dapat menumpang kebutuhan manusia akan energi yang
seakan tidak akan pernah habis dan terus meningkat dengan bertambah
majunya gaya hidup. Pernakah dibayangkan berapa ratus atau mungkin ribu
kali lipat kebutuhan energi manusia saat ini dibandingkan beberapa
dekade yang lalu ? Berapa kali lipat kebutuhan manusia akan energi dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan yang lain?
Sejauh
pengamatan penulis, energi yang dibutuhkan oleh si kucing sejak penulis
kanak-kanak hingga saat ini tak ada yang berubah. Akan tetapi bila
penulis melihat keperluan manusia sekeliling, nampak sekali bedanya.
Bila dulu orang hanya perlu listrik untuk penerangan kini sudah menjadi
keharusan untuk menyediakan listrik untuk TV, untuk kulkas, untuk HP,
untuk komputer, lalu perlu juga untuk mesin cuci, penyedot lantai,
pemotong rumptu dst..dst..belum lagi untuk sarana transportasi harus ada
mobil atau motor dan juga pesawat lalu ironisnya masih juga diperlukan
energi untuk membakar kelebihan energi yang terlanjur masuk ke badan
dengan berbagai alat fitness.
Di
luar upaya-upaya yang berupa fisik dalam meningkatkan alternatif
sumber-sumber energi, nampaknya pendekatan pengurangan kelangkaan energi
dapat dilakukan dari upaya-upaya manajemen dan sekaligus penataan pola
pikir kita sebagai mahkluk ciptaanNYA yang tertinggi kedudukannya.
Sungguh memalukan bila ternyata kitalah yang menjadi penghancur dunia
yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Mungkin sebagai manusia Katolik
yang sangat menjunjung nilai kasih sayang kita dapat memulainya. Dengan
niatan kasih kita pada dunia, dapat kiranya kita melakukan upaya dengan
paradigma ”pengurangan”. Agar kita tidak perlu selalu meningkatkan
pengadaan, kita kurangkan penggunaan. Penulis percaya bahwa upaya
mengurangi akan menjadi alternatif ampuh dalam menekan kelangkaan sumber
energi yang akan dihadapi.
Pengurangan
penggunaan energi selain akan mengurangi beban dunia untuk menyediakan
energi juga akan banyak mengurangi beban dunia dalam pencemaran. Nampak
jelas dewasa ini gejala ”global warming” sudah sangat kasat mata. Memang
mengupayakan pengurangan umumnya lebih sulit dibandingkan dengan
penambahan. Secara psikologis merupakan hal yang sering dihindari.
Kembali kepada kecintaan kita pada keyakina kita. Bila hukum cinta-kasih
kita terapkan, maka mencintai dunia dengan usaha mengurangi penggunaan
energi bukan hal yang susah untuk dilaksanakan bukan?
Banyak hal yang secara teknis bisa kita lakukan untuk menghemat energi.
Penghematan dari diri sendiri
Pendekatan
termudah adalah membiasakan diri pada hal-hal kecil yang bisa dilakukan
dari diri sendiri dalam mengurangi pemborosan. Mulai dengan mematikan
semua peralatan yang menggunakan listrik bila tidak digunakan sampai
biasakan lebih banyak menggerakkan tubuh dalam gaya hidup sehari-hari. Jangan
biarkan TV dan radio berkumandang tanpa ada yang menonton atau
mendengarkan. Matikan lampu bila meninggalkan ruang yang tak berpenghuni
lain. Upayakan sumber cahaya alami bila memungkinkan dan banyak hal-hal
kecil yang terlihat lumrah tetapi sangat memboroskan energi dengan
kesia-siaan.
Mulai
penataan kembali kebiasaan makan. Kecenderungan untuk makan berlebihan
dengan variasi yang terlalu banyak pada satuan waktu yang sama perlu
dihindarkan agar tidak banyak bagian yang terbuang karena tak mapu
menghabiskannya. Pasti ada yang berpendapat bahwa selama masih bisa
terbeli kenapa repot? Namun tahukah kita berapa banyak perubahan energi
yang sudah terkorbankan untuk menghasilkan produk pangan tersebut? Lalu
bila pangan terlalu banyak masuk kedalam tubuh kita maka perlu
mengubahnya lagi untuk membuangnya energi dalam bentuk lemak yang
tertumpuk dalam tubuh. Lebih celaka bila kita perlu menyadari berapa
banyak bagian orang kelaparan yang sudah kita sia-siakan?
Berpesta,
kenapa tidak? Pesta bukan suatu hal yang tabu. Penataan pesta yang
mahir akan banyak mengurangi pemborosan bahan pangan tanpa mengurangi
kenikmatan pesta. Senang melihat bentuk pesta yang semakin hemat dalam
penyediaan hidangan yang akan dinikmati. Pada pesta tak terkontrol,
selain sisa hidangan yang sering terserak dan terbuang percuma, terus
terang pesta juga banyak menjadi ”momok” bagi para perempuan setengah
baya yang sangat rentan dengan asupan pangan yang menggiurkan karena
kapasitas tubuh untuk bisa memanfaatkan energi pangan tersebut sudah tak
efektif lagi(dampaknya energi yang masuk bersama pangan harus disimpan
dalam bentuk tumpukan lemak yang juga membahayakan kesehatan). Sistem
RSVP yang ditaati para undanan akan banyak juga membantu penghematan
dalam pertemuan2 besar yang memerlukan konsumsi.
Mengurangi
kegiatan yang membuat diri tidak memanfaatkan energi tubuh dengan
efisien merupakan alternatif lain dalam berhemat energi sekaligus
menyehatkan. Mengurangi waktu duduk diam di depan TV atau chatting
di depan komputer dengan bercocok tanam memanfaatkan lahan sekitar
rumah, atau mengganti kegiatan fitness dengan peralatan yang menggunakan
energi listrik dengan menyapu tanpa alat vacuum cleaner, mencuci tanpa washing machine,
mengepel, mengecat rumah, menyabit rumput secara manual dst tentu
merupakan kegiatan fisik yang menyehatkan. Sering kita mengeluh tak
punya waktu, sementara kita buang waktu berjam-jam di fitness center untuk tujuan serupa yaitu melepas kelebihan energi dari dalam tubuh? Sungguh lebih menggelikan bila kita ingin melakukan fitness tetapi
kita naik mobil untuk mencapai tempat berlatih yang hanya perlu
beberapa langkah, atau menggunakan eskalator satu lantai untuk
mencapainya padahal tersedia tangga.
Kurangi
sebisa mungkin peralatan-peralatan yang memang memberikan kemudahan
tetapi sangat membuat kita terlena pada kemubaziran. Contoh yang paling
menarik adalah betapa kita begitu menggunakan hand phone walau
hanya untuk memanggil anggota keluarga dalam satu rumah? Atau menarik
dicermati bahwa kita begitu malas menggerakan tubuh hanya untuk mencapai
tombol yang satu jangkauan dari kita hanya karena tersedia remote-control.
Kita patut menertawakan diri bila kita lebih memilih sibuk mengeluarkan
dan memasukkan mobil hanya untuk mencapai tempat yang hanya 5 menit
berjalan kaki.
Dari
semua usaha yang perlu segera dipikirkan adalah mengurangi kemacetan
dijalan raya. Berapa banyak bahan bakar yang harus dibuang setiap hari
di banyak kota di Indonesia karena kemacetan. Banyak sekali kerugian
dari kemacetan, mulai dari penghamburan bahan bakar, polusi, pemborosan
waktu, kelelahan psikologi dan bila ditulis terus mungkin memakan banyak
halaman. Mengurangi kemacetan harus menjadi kewajiban semua pihak. Kita
bisa memulai dengan membuat semua perjalanan dalam keluarga dapat
dibuat efisien sehingga tidak semua anggota keluarga harus membawa
kendaraan masing-masing2. Sedapat mungkin gunakan kendaraan tanpa bahan
bakar pada jarak yang memungkinkan. Lupakan kenikmatan berkendara harus
sampai di depan pintu rumah. Sekali lagi gerakan tubuh lebih banyak,
daripada nantinya kita harus berlari ”jogging” atau berjalan sehat ber
putar2 tanpa tujuan.
Sedikit
angin segar saat ini, kita dapat melihat banyak upaya digaungkan untuk
menghemat energi dan sekaligus mendorong gerakan menjaga kelestarian
bumi. Mulai dari aktivitas ”go green” dengan berbagai ide segar seperti
yang dicanangkan oleh mahasiswa National University of Singapore
sampai dengan tayangan televisi Malaysia untuk mengajak rakyatnya
bercocok tanam di lahan pekarangan rumahnya. Kegiatan komunitas lain
yang mungkin bermanfaat untuk diadopsi oleh masyarakat kita dalam upaya
mengurangi adalah melakukan recycle use untuk barang-barang
keperluan sehari-hari. Banyak barang kebutuhan hidup yang sekali waktu
saja kita perlukan selanjutnya hanya memenuhi gudang. Berapa banyak
tumpukan baju, sepatu, kelengkapan makan anak2 kita yang hanya dipakai
dalam waktu sebentar dan harus bertukar karena pertumbuhan si anak
padahal bila kita bisa saling bertukaran maka penggunaan barang2
tersebut akan lebih maksimal. Rasanya kita tetap dapat memanjakan diri
dengan keinginan kita untuk selalu berdandan dengan kelengkapan yang
tidak selalu sama dengan melakukan pertukaran apa yang kita punya
dengan milik orang lain pada ”garage sale” atau ”flea market”untuk pakaian dan aksesori daripada selalu harus membeli baru.....
Penutup
Jangan
korbankan hak azazi manusia akan pangan untuk kesia-siaan. Memang
peralihan energi fuel ke bio-energi meberi angin segar bagi pelaku
pertanian untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Namun peningkatan
harga pangan yang terlalu drastis pun akan membawa korban yang pihak
yang lemah. Jangan sampai cerita bunuh diri sekeluarga karena tak bisa
makan menjadi episode rutin. Sedih sekali bila negara seperti Indonesia
yang dianugerahi Tuhan dengan energi surya cuma-cuma 12 jam sehari
selama 12 bulan penuh melahirkan manusia2 kurang gizi. Tidak sedihkah
kita bila kita dengar lebih banyak lagi laporan dari berbagai daerah
Indonesia akan kondisi sesama kita yang kekurangan pangan hanya untuk
dapat memenuhi keborosan kita akan penggunaan energi yang mana harus
ditutupi dengan mengubah pangan menjadi bioenergi untuk keperluan
tersebut?
sumber : http://ilmupangan.blogspot.com/2012/03/biofuel-vs-kecukupan-pangan-vs-gaya.html#more
0 Comments On " "
Posting Komentar