BANGSA Indonesia sejak zaman dahulu dikenal sebagai negeri maritim dan negeri agraris. Dari dua istilah itu menandakan bahwa negeri ini dikelilingi oleh lautan yang sangat luas dan sekaligus dikaruniai tanah yang subur. Logikanya, sumberdaya alam di negeri ini akan melimpah.
Akan tetapi akhir-akhir ini, gambaran Indonesia sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi -- daerah yang subur dengan sumber pangan melimpah -- makin bias. Pasalnya, kita sering mendengar banyak kebutuhan pokok kita dipenuhi dengan cara impor. Misalnya saja serbuan buah-buahan dari negeri jiran Thailand. Serbuan beras impor dari Vietnam dan Thailand. Dan yang sekarang ini merebak adalah ketergantungan kita pada
gandum, jagung, kedelai impor. Tidak tanggung-tanggung kita selama ini mengimpor ketiga jenis bahan pangan itu dari Amerika Serikat.
Masalah baru terlihat tatkala ada berita yang menyebutkan bahwa di Amerika Serikat sedang mengalami kekeringan. Ujung-ujungnya bahan baku seperti gandum, jagung, dan kedelai melonjak harganya. Kondisi ini tentu saja akan memukul pengusaha di dalam negeri. Tidak heran jika kemudian sempat muncul rencana mogok massal dari para pengusuha skala mikro produk tahu dan tempe.
Entah apa yang sedang terjadi di negeri ini. Sektor pertanian yang semestinya menjadi sektor andalan bagi bangsa ini untuk menguasai pasar dunia, justru seakan menjadi sektor yang dimarginalkan. Tidak terdengar sama sekali gaungnya, bagaimana pemerintah bekerja keras agar sektor pertanian bisa berswasembada pangan. Kadang kala justru kebijakan pemerintah berkebalikan. Misalnya saja pemerintah impor beras, sedangkan panen raya sedang terjadi di mana-mana.
Disinilah sepertinya pemerintah tidak bisa memetakan kondisi sesungguhnya di masyarakat. Ataukah justru pemerintah sudah menjadi mesin pengeruk keuntungan? karena tanpa adanya impor, marjin sudah pasti nihil.
Kok tidak ada gaungnya? sebut saja jika di era Orde Baru kita mengenal program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, maupun diversifikasi pertanian. Sekarang di era reformasi, tidak terdengar sama sekali program konkret. Dulu pemerintah selalu rutin mengampanyekan program irigasi, program mekanisasi pertanian, dan program pencetakan sawah baru atau lahan perkebunan baru, kini semuanya seperti ditelan bumi.
Dulu kelompencapir, lomba karang taruna, penyuluhan pertanian, menjadi agenda yang rutin dilakukan. Hasilnya, Indonesia pernah swasembada pangan. Persoalan dalam program tersebut ada juga unsur korupsi, hal itulah yang mesti dipangkas. Bukan memangkas program yang sebenarnya bagus.
Untuk itu, sudah selayaknya kementerian terkait, kembali menyosialisasikan secara massif program apa saja yang akan dilakukan untuk mendukung ketahanan pangan ini. Dengan jalan itu, seluruh stakeholder khususnya petani akan paham, bahwa mereka adalah obyek dan subjek dalam pembangunan.
Negeri ini subur. Negeri ini memiliki luas lahan yang memadahi. Perlu digalakkan kembali secara massif program untuk mendukung ketahanan pangan. Bahkan jika perlu kembali menggalakkan transmigrasi untuk membuka lahan baru, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas penduduk dan juga produktivitas lahan kosong. Tentu saja semua program itu adalah program yang bebas dari KKN --korupsi, kolusi, dan nepostisme, yang dulu begitu memang lekat di zaman Orde Baru.
sumber : http://suar.okezone.com/read/2012/07/24/59/667619/ketahanan-pangan-yang-makin-rentan
0 Comments On "Ketahanan Pangan yang Makin Rentan"
Posting Komentar