Sarjana dan Intelektualitas
Pendidikan
merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui
proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang
utuh dan sebenarnya.
Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan
bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal
ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat mendidikan yang meningkat
ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya
tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Sebaliknya,
kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi pada
makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya sudah menjadi tujuan utama bangsa kita yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Upaya ini ditempuh melalui pendidikan nasional.
Dalam upaya mencerdaskan bangsa pendidikan seharusnya dipandang sebagai
alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan
manusia maka minimal ada tiga aspek yang harus ada dalam sebuah proses
pendidikan. Pertama, Aspek iman, yang berorientasi pada proses
pembentukan keyakinan manusia akan penciptanya (spiritualitas). Kedua,
Aspek kognisi, yang berorientasi pada perubahan pola pikir
(intelektualitas). Ketiga, Aspek affeksi, yang berorientasi pada
perubahan sikap mental dan perilaku (mentalitas)
Dengan dimilikinya minimal tiga aspek dalam wacana pendidikan kita, maka seseorang yang berpendidikan dipandang sebagai seorang yang telah mengalami peningkatan iman, ilmu dan mental. Proses ilmu adalah garis vertikal yang mengarah ke atas, proses moral adalah garis akar ke dalam jiwa, sementara proses mental adalah garis horisontal. Semakin meninggi ilmu akan semakin mendalam garis moral, serta semakin melebar garis mental. Inilah yang disebut dialektika antara ilmu, mental dan moral pada proses kepribadian seseorang.
Meningkatnya ilmu pengetahuan semestinya akan membuat yang bersangkutan
semakin lapang jiwanya, semakin luas bathinnya dan semakin arif
kepribadiannya. Namun ternyata tidak selalu demikian. Seseorang yang
lebih tinggi kapasitas pengetahuannya belum tentu lebih bijak dan arif
perilakunya. Pada kenyataannya sering kita temui seorang yang lebih
tinggi kedudukannya yang notabene lebih mapan kapasitas intelektualnya,
lebih tinggi strata keilmuannya menjadi lebih picik pikirannya, tidak
lebih arif kebijaksanaannya dan menjadi otoriter kekuasaannya. Kita
selayaknya gelisah, untuk apa kita himpun informasi dan ilmu sebanyak
ini kalau ia malah meningkatkan akses kita ke kemungkinan dosa, karena
yang kita ketahui itu -karena sesuatu dan lain hal- tidak bisa atau
terpaksa tidak kita kerjakan.
Minimal ada dua permasalahan mendasar pendidikan kita, yaitu Pendidikan
Spiritual dan Pengangguran Terdidik. Pendidikan spiritual
permasalahannya adalah tidak seimbangnya antara porsi pendidikan
spiritual dengan pendidikan intelektual dan mental. Akibatnya bisa kita
lihat dengan semakin mengakar mendaunnya budaya korupsi, manipulasi,
monopoli, oligopoli, kolusi dan segala macam kejahatan birokrasi
dinegeri ini. Jika dikorelasikan dengan tingkat pendidikannya, pelaku
kejahatan tersebut bukanlah orang-orang yang bodoh. Dari kualitas
kejahatannya tentu pelakunya bukan orang sembarangan, pastilah
orang-orang pintar, pandai dan minimal pernah mengenyam persekolahan
modern.
Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua yang semakin menjadi-jadi serta
kejahatan fisik maupun moral bahkan gabungan keduanya semakin
merajalela, merupakan bukti lemahnya kekuatan spiritual yang dimiliki
sebagian masyarakat kita. Lemahnya kekuatan spiritual ini menjadikan
masyarakat kita mudah putus asa dan cenderung menghalalkan segala cara
demi kepentingan materi sesaat. Mereka tidak berpandangan jauh ke depan,
dimana masa depan bukan berarti hanya masa dewasa dan masa tua tetapi
menyangkut pula masa kematian dan masa pasca kematian. Dan yang cukup
memprihatinkan adalah pendidikan kita belum mampu merubah sikap perilaku
anak didik sesuai dengan target pendidikan yaitu mempertinggi budi
pekerti dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Pengganguran terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius.
Pengangguran ibarat hantu yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita.
Tidak peduli bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan ataupun bagi
masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi. Masalah pengangguran selalu
dikaitkan dengan masalah pendidikan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan akan semakin dewasa dan semakin mampu berfikir
alternatif. Sehingga sangat menjadi sorotan dan ironis jika sang
penganggur itu adalah sarjana (intelektual) dimana seharusnya ia sudah
mampu berfikir alternatif. Pendidikan yang semula diharapkan mampu
mengangkat status sosial tetapi malah menjadi beban dalam pergaulan
sehari-hari. Bahkan tak jarang para sarjana mengalami kegamangan dalam
masyarakat.
Jika dicermati lebih lanjut jumlah pengangguran semakin tahun semakin meningkat, apalagi ditengah keterpurukan ekonomi seperti saat ini. Pola ini menjadi menarik untuk dikaji, karena sarjana yang seharusnya mampu berfikir alternatif untuk menjadikan dirinya mandiri ternyata tidak demikian adanya. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita belum mampu menjadi rahim yang melahirkan lulusan berjiwa enterpreneurship. Akibatnya mereka cenderung untuk mengandalkan lowongan pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja. Dunia pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk sarjana konsumtif tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan. Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada aspek / orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian ketika produk sarjana ini dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang produktif.
Simpul dari tulisan ini bahwa memang tidak ada jaminan bahwa
berkembangnya kepribadian seseorang menjadi sarjana akan paralel dengan
perkembangan kepribadian dan tingkat moralnya. Tidak ada jaminan bahwa
membengkaknya jumlah sarjana berarti semakin terawat dan eksis pula
nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk apa melakukan
pengembaraan intelektual dan pergulatan pemikiran menjadi sarjana jika
membuat jarak semakin jauh dengan Al-Khalik, Sang Pencipta ?. Ironisme
yang memprihatinkan.
Menjawab ironisme tersebut diperlukan langkah sistematik dan konsisten
dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang
akan dikembangkan harus mampu mewadahi tiga dimensi dasar kehidupan
manusia, yaitu dimensi ruhiyah (moralitas/spiritualitas/agama), dimensi
fikriyah (intelektualitas) dan dimensi mental untuk dapat dimanage
secara proporsional dan seimbang. Semoga dimasa yang akan datang semakin
banyak dihasilkan sarjana-sarjana multidimensional, yaitu sarjana
dengan kapasitas mental, moral dan intelektual. Wallahua’lam bishawab.
sumber : http://guruidaman.blogspot.com/2010/02/sarjana-dan-intelektualitas.html
tanggal post : 5-5-2012
|
0 Comments On "Sarjana dan Intelektualitas"
Posting Komentar