ALIANSI
untuk Desa Sejahtera menilai, proses uji jagung transgenik oleh tim
Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan tak cukup dan hanya bertujuan
mempercepat proses komersialisasi produk trangenik di Indonesia. Dengan
hanya uji dokumen terhadap jagung transgenik NK 603 dan MON 89034 milik
Monsanto, menunjukkan pengabaian prinsip kehati-hatian demi kepentingan
pemilik benih.
Prinsip
Kehati-hatian, merupakan prinsip dasar dalam menangani produk hasil
rekayasa genetik. Ini disepakati di level internasional. Prinsip
kehati-hatian mengakui potensi dampak lingkungan, sosial ekonomi dan
kesehatan dari produk hasil rekayasa genetik. Juga memperbolehkan negara
mengambil langkah tegas jika terdapat keragu-raguan atau ketidakcukupan
informasi atas dampaknya.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) di Jakarta, Jumat(21/9/2012) mengatakan, dokumen yang dikajipun dari pemilik benih dan dokumen lama. Padahal, dampak negatif dari produk rekayasa genetik baru muncul dalam jangka panjang.
“Hal ini ditunjukkan berbagai penelitian baru. Ketergesa-gesaan ini jelas sekali untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan dan mengabaikan kepentingan petani dan rakyat Indonesia,” katanya dalam rilis kepada media.
Berdasarkan riset tim Gilles-Eric Seralini dari Universitas Caen, penelitian pertama yang memeriksa dampak mengkonsumsi organisme hasil rekayasa genetik (RG) jangka panjang (seumur hidup mencit) menemukan, lebih dari 50 persen jantan dan 70 persen betina menderita kematian prematur. Tikus-tikus yang diminumkan sejumlah roundup ready (dalam tingkat yang dibolehkan aturan dalam persediaan air minum) mengalami peningkatan ukuran tumor sebesar 200 hingga 300 persen. Juga terjadi kerusakan hati dan ginjal pada tikus yang diberi makan jagung hasil RG dan jejak roundup.
Dari segala sisi, kata Tejo, tidak ada kelebihan dari benih transgenik. Malah kehadiran benih ini mengancam kondisi sosial-ekonomi petani, kesehatan dan meningkatkan pencemaran lingkungan. “Benih transgenik dibuat semata-mata untuk keuntungan perusahaan.”
Dwi Andreas Santosa, pakar bioteknologi menekankan, penerapan pendekatan kehati-hatian terhadap produk tanaman transgenik yang akan dikonsumsi manusia mensyaratkan analisis risiko yang sangat rumit. ”Negara wajib melakukan sendiri analisis keamanan pangan untuk berbagai bahan pangan transgenik yang masuk ke Indonesia, tidak sekadar menerima dan menilai dokumen yang disajikan pemohon” ujar dia.
Rhino Subagyo, Legal Policy ADS mengingatkan, pelepasan benih transgenik di lapangan harus sesuai ketentuan UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Khusus terkait ketentuan Amdal dan izin lingkungan. Pelaku usaha dan pemberi izin yang menyebarkan benih transgenik tanpa memiliki izin lingkungan bisa kena ancaman pidana kejahatan lingkungan hidup saat timbul dampak yang merugikan.
Menurut dia, di tengah ancaman krisis pangan, sudah waktunya kebijakan pangan mendukung produsen pangan skala kecil di negeri ini. Keberpihakan dan dukungan membabi buta terhadap produsen pangan global hanya memberi keuntungan bagi perusahaan pemilik benih hasil rekayasa genetik.
Dukungan, lebih baik diberikan kepada para peneliti dan petani yang sudah mengembangkan berbagai macam benih berdasarkan sumber daya lokal yang sesuai untuk menjawab tantangan kondisi setempat.
Di Indonesia, pengembangan tanaman transgenik pertama secara komersial di tujuh Kabupaten di Sulawesi Selatan pada 2001. Berakhir pada 2003 oleh Menteri Pertanian saat itu karena gagal total dan menimbulkan konflik antara petani dan perusahaan, Branitha Sandhini anak perusahaan Monsanto yang ingkar janji.
Aliansi untuk Desa Sejahtera merupakan aliansi dari 18 Ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan lestari dengan pendekatan pada tiga komoditas pertama beras atau pangan, ketua pokja Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Kedua, sawit, ketua Pokja Sawit Watch dan ketiga ikan, ketua Pokja Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) di Jakarta, Jumat(21/9/2012) mengatakan, dokumen yang dikajipun dari pemilik benih dan dokumen lama. Padahal, dampak negatif dari produk rekayasa genetik baru muncul dalam jangka panjang.
“Hal ini ditunjukkan berbagai penelitian baru. Ketergesa-gesaan ini jelas sekali untuk memfasilitasi kepentingan perusahaan dan mengabaikan kepentingan petani dan rakyat Indonesia,” katanya dalam rilis kepada media.
Berdasarkan riset tim Gilles-Eric Seralini dari Universitas Caen, penelitian pertama yang memeriksa dampak mengkonsumsi organisme hasil rekayasa genetik (RG) jangka panjang (seumur hidup mencit) menemukan, lebih dari 50 persen jantan dan 70 persen betina menderita kematian prematur. Tikus-tikus yang diminumkan sejumlah roundup ready (dalam tingkat yang dibolehkan aturan dalam persediaan air minum) mengalami peningkatan ukuran tumor sebesar 200 hingga 300 persen. Juga terjadi kerusakan hati dan ginjal pada tikus yang diberi makan jagung hasil RG dan jejak roundup.
Dari segala sisi, kata Tejo, tidak ada kelebihan dari benih transgenik. Malah kehadiran benih ini mengancam kondisi sosial-ekonomi petani, kesehatan dan meningkatkan pencemaran lingkungan. “Benih transgenik dibuat semata-mata untuk keuntungan perusahaan.”
Dwi Andreas Santosa, pakar bioteknologi menekankan, penerapan pendekatan kehati-hatian terhadap produk tanaman transgenik yang akan dikonsumsi manusia mensyaratkan analisis risiko yang sangat rumit. ”Negara wajib melakukan sendiri analisis keamanan pangan untuk berbagai bahan pangan transgenik yang masuk ke Indonesia, tidak sekadar menerima dan menilai dokumen yang disajikan pemohon” ujar dia.
Rhino Subagyo, Legal Policy ADS mengingatkan, pelepasan benih transgenik di lapangan harus sesuai ketentuan UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Khusus terkait ketentuan Amdal dan izin lingkungan. Pelaku usaha dan pemberi izin yang menyebarkan benih transgenik tanpa memiliki izin lingkungan bisa kena ancaman pidana kejahatan lingkungan hidup saat timbul dampak yang merugikan.
Menurut dia, di tengah ancaman krisis pangan, sudah waktunya kebijakan pangan mendukung produsen pangan skala kecil di negeri ini. Keberpihakan dan dukungan membabi buta terhadap produsen pangan global hanya memberi keuntungan bagi perusahaan pemilik benih hasil rekayasa genetik.
Dukungan, lebih baik diberikan kepada para peneliti dan petani yang sudah mengembangkan berbagai macam benih berdasarkan sumber daya lokal yang sesuai untuk menjawab tantangan kondisi setempat.
Di Indonesia, pengembangan tanaman transgenik pertama secara komersial di tujuh Kabupaten di Sulawesi Selatan pada 2001. Berakhir pada 2003 oleh Menteri Pertanian saat itu karena gagal total dan menimbulkan konflik antara petani dan perusahaan, Branitha Sandhini anak perusahaan Monsanto yang ingkar janji.
Aliansi untuk Desa Sejahtera merupakan aliansi dari 18 Ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan lestari dengan pendekatan pada tiga komoditas pertama beras atau pangan, ketua pokja Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Kedua, sawit, ketua Pokja Sawit Watch dan ketiga ikan, ketua Pokja Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/09/21/uji-jagung-transgenik-dinilai-abaikan-prinsip-kehati-hatian/#ixzz29BtUHuXM
sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/09/21/uji-jagung-transgenik-dinilai-abaikan-prinsip-kehati-hatian/
0 Comments On "Uji Jagung Transgenik Dinilai Abaikan Prinsip Kehati-hatian"
Posting Komentar