Senin, 02 April 2012 4/02/2012

PROSPEK PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI INDONESIA


Peper Agroforestri

PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM AGROFORESTRI DI INDONESIA





Oleh:
Kelompok 5

Andi irwansyah lubis
Ali aminullah
Afzal
Darul
Teuku rizal








JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011

PROSPEK PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI INDONESIA
Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif (mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem sehat, konservasi air dan tanah, lubuk C daratan), sehingga seringkali dipakai sebagai salah satu contoh sistem pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Kenyataannya, agroforestri yang dipraktekkan masyarakat dengan menanam pohon di lahan milik mereka, keberadaannya sering diabaikan dalam diskusi pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Agroforestri dianggap bukan bagian dari hutan tanaman (forestry plantation). Oleh karena itu, usaha mengubah paradigma lama tentang agroforestri perlu dilakukan. Di lain pihak, agroforestri berpotensi besar dalam mensukseskan revolusi hijau (regreening revolution) yang dilakukan oleh petani. Tetapi sayangnya agroforestri menghadapi lima kendala utama, yaitu:
·      Masih simpang siurnya terminologi hutan, perkebunan, dan penghijauan (reforestation) yang dipakai, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan terutama bila dikaitkan dengan penguasaan dan penggunaan lahan.
·      Terbatasnya penyediaan bibit berkualitas tinggi, yang dibutuhkan terutama pada stadia awal pembentukan agroforestri.
·      Terbatasnya ketrampilan masyarakat dalam mengelola lahan dan kemampuan mengatur produksi tanamannya yang sesuai dengan permintaaan pasar.
·      Adanya peraturan penjualan kayu yang rumit yang cukup menghambat akses pasar bagi produk lahan yang dikelola oleh masyarakat.
·      Belum adanya mekanisme kompensasi (reward mechanism) dari pemerintah untuk petani yang melaksanakan sistem pertanian yang ramah lingkungan (agroforestri).
Pada kondisi saat ini hubungan antara agroforestri dan hutan tanaman bisa saling menguntungkan, netral ataupun kompetitif tergantung pada kemampuan pengambil kebijakan (inter)nasional dalam mengkemas dan bernegoisasi pada skala yang lebih besar. Pada umumnya perkebunan skala besar beroperasi dengan memperoleh subsidi dari pemerintah (baik langsung atau tidak langsung, yang sebagian didasarkan pada servisnya terhadap lingkungan), sebaliknya untuk agroforestri tidak ada subsidi sama sekali.
            Kesalahan dalam mengelola hutan akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia semakin menurun.
Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan (Surachmanto, 2002), kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%).
Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun (Iskandar, 2000) meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha.
Alasan utama orang melakukan penebangan pohon di hutan adalah untuk mendapatkan kayu bangunan (timber). Beberapa pemicu yang dapat menjadi penyebab terjadinya penebangan hutan, antara lain:
1.      Kondisi ekonomi
Meningkatnya jumlah penduduk akan diikuti oleh meningkatnya jumlah kebutuhan pangan, papan dan kebutuhan hidup lainnya. Hal ini mendorong terjadinya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman.
2.      Kondisi biofisik lahan pertanian yang telah menurun
Penggunaan lahan bekas hutan menjadi lahan pertanian terutama sistem tanaman semusim monokultur biasanya diikuti oleh penurunan kesuburan tanah setelah diusahakan sekitar 3-5 tahun. Melanjutkan pengusahaan lahan yang telah terdegradasi, tidak akan memberikan keuntungan yang berarti bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk sarana penunjang produksi dan tenaga kerja. Dengan demikian masyarakat harus berpindah ke tempat lain dan melanjutkan penebangan dan pembakaran hutan untuk penyediaan lahan pertanian yang baru.
3.      Kebijakan Pemerintah
Untuk meningkatkan devisa negara, pemerintah mengeluarkan kebijakan meningkatkan produksi hutan melalui sistem perkebunan. Ijin pengusahaan lahan hutan banyak diberikan kepada perusahaan besar baik pemerintah maupun swasta. Untuk memperlancar usaha tersebut, pengadaan beberapa sarana infrastruktur seperti sarana jalan raya, pasar dan jaringan listrik telah direalisir. Bila pelaksanaan kebijakan ini tidak dilaksanakan dengan bijak, seperti penyalahgunaan wewenang oleh oknum pemerintahan dan pendistribusian hasil penjualan produk hutan yang tidak merata di lapisan masyarakat justru akan memicu kemarahan masyarakat untuk melakukan penebangan liar dan penguasaan lahan secara ilegal.
4.      Mengabaikan keberadaan masyarakat
Pengelolaan sumber daya hutan selama ini hanya diatur, ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Masyarakat setempat seringkali tidak dilibatkan sebagai pelaku, tetapi sebagai obyek atau sebagai penonton, sehingga masyarakat merasa tidak bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan.
5.      Kebijakan pembangunan industri kayu yang protektif
Banyak kebijakan merangsang tumbuhnya industri kayu yang tidak kompetitif dan boros bahan baku. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang semakin tinggi antara kebutuhan bahan baku industri dengan kemampuan produksi di bawah ambang kelestarian sumber daya hutan yang ada.

pengembangan Agroforestri di Indonesia
Telah berabad-abad lamanya petani menanam pohon di lahannya, mereka tidak perlu menunggu peneliti untuk mengembangkan konsep agroforestri. Di Asia Tenggara, sistem agroforestri ini telah dipromosikan secara luas sebagai salah satu bentuk pengelolaan tanah yang berkelanjutan. Tetapi peneliti, pengambil kebijakan dan penyuluh lapangan sangat jarang yang mengenali bahwa sistem agroforestri sebenarnya berasal dari petani. Sistem ini telah dikembangkan, dibuktikan dan dirasakan sendiri oleh petani. Oleh karena agroforestri ini dikembangkan oleh petani dengan tujuan yang berbeda-beda, maka macam agroforestri di satu daerah berbeda dengan daerah yang lain. Namun demikian, agroforestri masih sering disebut sebagai “proyek pengembangan”, karena kadang-kadang memang idenya berasal dari ‘luar’ dan kadang-kadang di ‘luar’ lingkup interaksi pohon-tanah-tanaman semusim.
Seperti kita ketahui bahwa pada suatu bentang lahan yang sama, ada kemungkinan terdapat berbagai macam sistem pengunaan lahan mulai dari hutan (di mana terdapat 70-100% tutupan kanopi, meskipun di beberapa daerah yang berbeda tipe ekologinya mungkin dengan 25% tutupan kanopi sudah disebut hutan) hingga pertanian intensif (di mana tidak ada pohon pada bentang lahan tersebut). Batasan tersebut sangat jelas terlihat pada bentang
lahan di mana terdapat sistem pertanian monokultur yang relatif luas (Gambar 5). Namun, kenyataannya di lapangan ada bagian transisi atau bagian ‘kelabu’ yang merupakan bentuk campuran dari kedua sistem tersebut (sistem pertanian terpadu), bahkan seringkali sistem ini justru mendominasi suatu bentang lahan. Bagian ‘kelabu’ ini dapat dianggap bagian dari kehutanan ataubisa juga pertanian atau bisa agroforestri. Pembagian yang mutlak ini juga tercermin dalam pembagian wewenang dari masing-masing Departemen, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Perkebunan yang sangat jelas pembagian batasan dan wewenangnya; tetapi sayangnya tidak ada Departemen Agroforestri yang harus mengurus sistem “kelabu” di atas.
Gambar 5. Gambar kiri: Tingkat penutupan lahan oleh kanopi pohon berkisar dari 0 hingga 100% sebagai dasar penentuan batas ambang dari kriteria “hutan”. Berdasarkan definisi terakhir, hutan memiliki tingkat penutupan lahan oleh kanopi pohon bervariasi antara 20-80%. Gambar kanan: Berbagai pilihan dari kombinasi ketiga bentuk utama sistem penggunaan lahan yang ada pada tingkat bentang lahan yang harus memenuhi tuntutan agronomis yang menguntungkan dan lingkungan yang sehat seperti yang diberikan oleh sistem hutan alami (Van Noordwijk et al., 2001).

Bila mengkaji beberapa kondisi yang berkembang di Indonesia saat ini, maka pengembangan agroforestri di Indonesia mempunyai peluang cukup besar karena adanya beberapa alasan, antara lain adalah:
·      Adanya perubahan paradigma baru tentang pengelolaan hutan yang lebih mempertimbangkan pengelolaan sumber daya alam (natural resources management) dan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan dapat memberikan peluang besar untuk pengembangan agroforestri.
·         Meningkatnya kesadaran tentang pengetahuan lokal petani, membuka kesempatan yang luas untuk mempelajari praktek agroforestri yang telah berkembang di Indonesia sejak dahulu kala, yang kemungkinan dapat ditularkan ke tempat lain.
·         Besarnya luasan lahan terdegradasi (misalnya padang alang-alang dan hutan terdegradasi) memberikan kesempatan untuk mengikutsertakan agroforestri dalam program rehabilitasi lahan dan pengelolaan sumber daya alam.
·         Kepedulian global pada usaha pengurangan konsentrasi CO2 di atmosfer dengan jalan meningkatkan cadangan karbon (carbon-stock), mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mempertahankan keanekaragaman hayati, telah membuka kesempatan untuk memanfaatkan cadangan karbon dalam agroforestri yang lebih besar dibandingkan dengan pertanian intensif.
·         Kepedulian global terhadap kelestarian alam, dengan memberikan penghargaan terhadap produk yang dihasilkan dari pertanian ‘hijau’ (termasuk agroforestri) semakin meningkat.

Keunggulan sistem agroforestri
Sistem agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi/lingkungan, ekonomi, sosial-budaya dan politik.
Keunggulan ekologi/lingkungan (Bahan Ajaran 3), agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena agroforestri memiliki:
·      Multi-jenis, artinya memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai makanan/energi yang lebih lengkap. Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian mendorong penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Hasil penelitian Trudy O’Connors (sumber ICRAF) menunjukkan bahwa adanya alih guna lahan hutan menjadi agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya (Lampung Barat) menyebabkan berkurangnya jenis burung yang hidup di kebun kopi.
·      Multi-strata tajuk dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih baik. Selain itu, dengan adanya kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat mengurangi serangan hama dan penyakit. Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak pernah terjadi keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak keseimbangan ekologinya.
·      Penggunaan bentang lahan secara efisien. Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat 'relung' (niches) yang beragam tergantung pada kesuburan tanah, kemiringan lereng, kerentanan terhadap erosi, ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’ ini seringkali diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri, petani memiliki banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam pada suatu ‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’ tersebut, yang seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga.
Keunggulan ekonomi (Bahan Ajaran 6), yakni memberi kesejahteraan kepada petani relatif lebih tinggi dan berkesinambungan, karena agroforestri memiliki:
·      Tanaman yang ditanam lebih beragam, yang biasanya dipilih jenis-jenis tanaman yang mempunyai nilai komersial dengan potensi pasar yang besar. Keragaman atau diversifikasi jenis hasil ini akan meningkatkan ketahanan terhadap fluktuasi harga dan jumlah permintaan pasar. Jadi sebenarnya dengan sistem ini petani telah menebar risiko, dengan jalan tidak 'meletakkan semua telur unggasnya dalam satu sarang' (do not put all eggs in one basket). Selanjutnya, dengan diperolehnya jenis hasil yang beragam dan berkesinambungan ini akan menjamin pendapatan petani lebih merata sepanjang tahun.
·      Kebutuhan investasi yang relatif rendah, atau mungkin dapat dilakukan secara bertahap.
Keunggulan sosial budaya yaitu keunggulan agroforestri yang berhubungan dengan kesesuaian (adoptibility) yang tinggi dengan kondisi pengetahuan, ketrampilan dan sikap budaya masyarakat petani. Hal ini karena agroforestri memiliki:
·      Teknologi yang fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari sangat intensif untuk masyarakat yang sudah maju, sampai kurang intensif untuk masyarakat yang masih tradisional dan subsisten Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis hasil agroforestri umumnya sudah sangat dikenal dan biasa dipergunakan oleh masyarakat setempat.
·      Filosofi budidaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif besar dengan biaya atau pengorbanan yang relatif kecil.
Keunggulan politis (Bahan Ajaran 3 dan 7). Agroforestri dapat memenuhi hasrat politik masyarakat luas dan kepentingan bangsa secara keseluruhan, yakni:
·      Agroforestri dapat dan sangat cocok dilakukan oleh masyarakat luas, adanya pemerataan kesempatan usaha, serta menciptakan struktur supply yang lebih kompetitif
·      Dapat meredakan ketegangan atau konflik politik, yang selama ini terus memanas akibat ketimpangan peran antar golongan dan ketidakadilan ekonomi.
·      Kepercayaan yang diberikan masyarakat akan direspon dengan ‘rasa memiliki’ dan menjaga sumber daya hutan/lahan yang memberi manfaat nyata kepada mereka.
bentuk masa depan penelitian agroforestri
Pada masa lalu, penelitian agroforestri seringkali dikaitkan dengan pengembangan teknologi di tingkat plot yang fokus utamanya adalah pada pengembangan teknologi agroforestri. Sasaran yang diharapkan biasanya adalah mencari teknologi terbaik, produksi pohon dan tanaman lainnya tinggi. Program pembangunan yang didasarkan pada asumsi bahwa petani perlu dididik untuk menerapkan teknologi baru dan lebih baik, hampir dapat dipastikan selalu gagal, jika tidak dimulai dengan diagnosa masalah dan jika jenis modal yang lain tersedia dalam jumlah yang cukup. Hasil adaptasi teknologi ini tergantung dari banyak faktor lain: sumber daya manusia (kesehatan, nutrisi, tenaga kerja dan pengetahuan), sumber daya alam (tanah, air, vegetasi, hewan dan mineral), modal sosial (institusi, kebijakan, kerjasama dan keadilan), modal finansial (tunai, kredit, cadangan atau tabungan) dan modal fisik (infrastruktur dan kekayaan). Petani harus memiliki akses ke kelima bentuk modal tersebut. Program yang mengutamakan teknologi dan peningkatan produktivitas dari modal alam (tanah, plasma nutfah, dsb) hanya berhasil jika keempat jenis modal yang lain tersedia dalam jumlah cukup pula. Pengelolaan parsial diubah ke terpadu Mengingat masalah yang dihadapi di lapangan sangat kompleks, maka pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara terpadu atau terintegrasi (INRM, integrated natural resources management)
ada lima langkah pendekatan pengelolaan sumber daya alam secara terpadu meliputi:
a. Diagnosis masalah sumber daya alam yang ada di masyarakat dan perspektif dari para pihak terkait akan masalah tersebut,
b. Identifikasi beberapa pilihan sistem penggunaan lahan yang ada saat ini dan sistem lain yang berpotensi untuk memecahkan masalah penurunan sumber daya alam, termasuk di antaranya sistem agroforestri
c. Evaluasi keuntungan yang akan diperoleh ditinjau dari 3 segi yaitu produktivitas dan keberlanjutannya, sosial dan distribusinya, pelayanan lingkungan termasuk di dalamnya emisi gas rumah kaca, perlindungan terhadap daerah aliran sungai dan keanekaragaman hayati,
d. Evaluasi peluang untuk pengembangan sistem yang ditawarkan dengan melihat trend-nya saat ini, dengan segala pro dan kontranya,
e. Merencanakan perubahan aturan, insentif dan akses yang hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat. Hasilnya adalah diberikannya jaminan penguasaan lahan yang jelas kepada masyarakat, beban pajak yang sesuai, ecolabelling dan dukungan infrastruktur.
Untuk mempengaruhi keputusan tersebut secara positif, dan untuk menghilangkan semua pembatas dan hambatan, beberapa aspek mungkin perlu diubah:
·      Konteks sosial, akses pada lahan dan sumber daya produksi yang lebih kondusif untuk menyelesaikan konflik penggunaan sumber daya setempat.
·      Akses pada pasar yang ‘sehat’, yang tergantung pada infrastruktur, kelembagaan lokal dan kebijakan makro, juga akses untuk selalu memperbaharui informasi
·      Pengetahuan umum, pemahaman akan adanya berbagai pilihan dan kemampuan untuk belajar dan memperoleh pengetahuan baru Informasi akan teknologi spesifik dan bagaimana mendapatkan input yang dibutuhkan (termasuk plasma nutfah pohon yang berkualitas tinggi).


pendekatan dalam pengembangan agroforestri
1.     Pendekatan komoditi
Pendekatan komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai lembaga penelitian pertanian nasional ataupun internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh, karet, padi, dsb.
2.     Pendekatan pengelolaan lahan pada tingkat petani
Pendekatan lainnya adalah berpusat pada ‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’, yang memprioritaskan petani (farmer first).
ada empat faktor yang mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi,
menolak, mengadaptasi atau mengembangkan sistem agroforestri, yaitu :
a. Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang dimiliki, dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan.
b. Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.
c. Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan ketersediaan kredit.
d. Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu petani dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.
     3.Pendekatan tingkat bentang lahan
Sistem ini muncul beberapa dekade belakangan ini sebagai dasar untuk Pengelolaan Sumber Daya Terpadu (PSDT) yang melibatkan berbagai pihak terkait, yang terlibat dalam penyelesaian ‘konflik’, maupun dalam pemberian ‘penghargaan’ untuk suatu keberhasilan. Agroforestri mungkin dapat menjadi solusi pada skala ini, tetapi juga dapat menimbulkan masalah.
4.Pendekatan proses pemerintahan
Adanya kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan akan membentuk kondisi pembatas bagi agroforestri. Untuk menghilangkan pembatas tersebut, terutama pada lahan kering dibutuhkan suatu mekanisme untuk menghubungkan antara kebutuhan dan penyediaan fungsi layanan lingkungan melalui penggunaan lahan. Pemberdayaan masyarakat nampaknya mutlak diperlukan untuk mengusahakan pengelolaan sumber daya alam yang terpadu.

0 Comments On "PROSPEK PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI INDONESIA"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

BERITA TERKINI

« »
« »
« »

GALERY AGROTEKNOLOGI

Cari Blog Ini

Blogger Indonesia

Blogger Indonesia

ANDA PENGUNJUNG KE

Diberdayakan oleh Blogger.
Blogger Templates

Translate

close

Entri Populer

SALAM AGROTEKNOLOGI

SALAM AGROTEKNOLOGI

Cuaca Hari ini

free counters

HASIL PERTANIAN

HASIL PERTANIAN

Pengikut

About Me