Peper
Agroforestri
PROSPEK
PENGEMBANGAN SISTEM AGROFORESTRI DI INDONESIA
Oleh:
Kelompok 5
Andi irwansyah lubis
Ali aminullah
Afzal
Darul
Teuku rizal
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2011
PROSPEK PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI INDONESIA
Agroforestri adalah salah satu sistem
pengelolaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif (mempertahankan
keanekaragaman hayati, ekosistem sehat, konservasi air dan tanah, lubuk C daratan),
sehingga seringkali dipakai sebagai salah satu contoh sistem pengelolaan lahan
yang berkelanjutan. Kenyataannya, agroforestri yang dipraktekkan masyarakat
dengan menanam pohon di lahan milik mereka, keberadaannya sering diabaikan
dalam diskusi pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Agroforestri dianggap bukan
bagian dari hutan tanaman (forestry plantation). Oleh karena itu, usaha
mengubah paradigma lama tentang agroforestri perlu dilakukan. Di lain pihak,
agroforestri berpotensi besar dalam mensukseskan revolusi hijau (regreening
revolution) yang dilakukan oleh petani. Tetapi sayangnya agroforestri
menghadapi lima kendala utama, yaitu:
· Masih
simpang siurnya terminologi hutan, perkebunan, dan penghijauan (reforestation)
yang dipakai, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan terutama bila dikaitkan
dengan penguasaan dan penggunaan lahan.
· Terbatasnya
penyediaan bibit berkualitas tinggi, yang dibutuhkan terutama pada stadia awal
pembentukan agroforestri.
· Terbatasnya
ketrampilan masyarakat dalam mengelola lahan dan kemampuan mengatur produksi
tanamannya yang sesuai dengan permintaaan pasar.
· Adanya
peraturan penjualan kayu yang rumit yang cukup menghambat akses pasar bagi
produk lahan yang dikelola oleh masyarakat.
· Belum
adanya mekanisme kompensasi (reward mechanism) dari pemerintah untuk
petani yang melaksanakan sistem pertanian yang ramah lingkungan (agroforestri).
Pada kondisi saat ini hubungan antara
agroforestri dan hutan tanaman bisa saling menguntungkan, netral ataupun
kompetitif tergantung pada kemampuan pengambil kebijakan (inter)nasional dalam
mengkemas dan bernegoisasi pada skala yang lebih besar. Pada umumnya perkebunan
skala besar beroperasi dengan memperoleh subsidi dari pemerintah (baik langsung
atau tidak langsung, yang sebagian didasarkan pada servisnya terhadap
lingkungan), sebaliknya untuk agroforestri tidak ada subsidi sama sekali.
Kesalahan dalam mengelola hutan akan
memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, maupun
lingkungan. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di
Indonesia semakin menurun.
Berdasarkan hasil citra landsat tahun
1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan (Surachmanto, 2002), kondisi
penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua
adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%),
hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan (semak-belukar, padang alang-alang,
lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan,
dsb) 13,4 juta ha (14,3%).
Kondisi hutan terus mengalami kerusakan
dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun (Iskandar, 2000) meningkat
dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai
56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta
ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha,
hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di
dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha.
Alasan utama orang melakukan penebangan
pohon di hutan adalah untuk mendapatkan kayu bangunan (timber). Beberapa pemicu
yang dapat menjadi penyebab terjadinya penebangan hutan, antara lain:
1. Kondisi
ekonomi
Meningkatnya
jumlah penduduk akan diikuti oleh meningkatnya jumlah kebutuhan pangan, papan
dan kebutuhan hidup lainnya. Hal ini mendorong terjadinya konversi lahan hutan
menjadi lahan pertanian dan pemukiman.
2. Kondisi
biofisik lahan pertanian yang telah menurun
Penggunaan
lahan bekas hutan menjadi lahan pertanian terutama sistem tanaman semusim
monokultur biasanya diikuti oleh penurunan kesuburan tanah setelah diusahakan
sekitar 3-5 tahun. Melanjutkan pengusahaan lahan yang telah terdegradasi, tidak
akan memberikan keuntungan yang berarti bila dibandingkan dengan biaya yang
harus dikeluarkan untuk sarana penunjang produksi dan tenaga kerja. Dengan
demikian masyarakat harus berpindah ke tempat lain dan melanjutkan penebangan
dan pembakaran hutan untuk penyediaan lahan pertanian yang baru.
3. Kebijakan
Pemerintah
Untuk
meningkatkan devisa negara, pemerintah mengeluarkan kebijakan meningkatkan
produksi hutan melalui sistem perkebunan. Ijin pengusahaan lahan hutan banyak
diberikan kepada perusahaan besar baik pemerintah maupun swasta. Untuk
memperlancar usaha tersebut, pengadaan beberapa sarana infrastruktur seperti
sarana jalan raya, pasar dan jaringan listrik telah direalisir. Bila
pelaksanaan kebijakan ini tidak dilaksanakan dengan bijak, seperti
penyalahgunaan wewenang oleh oknum pemerintahan dan pendistribusian hasil
penjualan produk hutan yang tidak merata di lapisan masyarakat justru akan
memicu kemarahan masyarakat untuk melakukan penebangan liar dan penguasaan
lahan secara ilegal.
4. Mengabaikan
keberadaan masyarakat
Pengelolaan
sumber daya hutan selama ini hanya diatur, ditetapkan dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Masyarakat setempat seringkali tidak dilibatkan sebagai pelaku,
tetapi sebagai obyek atau sebagai penonton, sehingga masyarakat merasa tidak
bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan.
5. Kebijakan
pembangunan industri kayu yang protektif
Banyak
kebijakan merangsang tumbuhnya industri kayu yang tidak kompetitif dan boros
bahan baku. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang semakin tinggi antara
kebutuhan bahan baku industri dengan kemampuan produksi di bawah ambang
kelestarian sumber daya hutan yang ada.
pengembangan
Agroforestri di Indonesia
Telah
berabad-abad lamanya petani menanam pohon di lahannya, mereka tidak perlu
menunggu peneliti untuk mengembangkan konsep agroforestri. Di Asia Tenggara,
sistem agroforestri ini telah dipromosikan secara luas sebagai salah satu
bentuk pengelolaan tanah yang berkelanjutan. Tetapi peneliti, pengambil
kebijakan dan penyuluh lapangan sangat jarang yang mengenali bahwa sistem
agroforestri sebenarnya berasal dari petani. Sistem ini telah dikembangkan,
dibuktikan dan dirasakan sendiri oleh petani. Oleh karena agroforestri ini
dikembangkan oleh petani dengan tujuan yang berbeda-beda, maka macam
agroforestri di satu daerah berbeda dengan daerah yang lain. Namun demikian,
agroforestri masih sering disebut sebagai “proyek pengembangan”, karena
kadang-kadang memang idenya berasal dari ‘luar’ dan kadang-kadang di ‘luar’
lingkup interaksi pohon-tanah-tanaman semusim.
Seperti kita ketahui bahwa pada suatu
bentang lahan yang sama, ada kemungkinan terdapat berbagai macam sistem
pengunaan lahan mulai dari hutan (di mana terdapat 70-100% tutupan kanopi,
meskipun di beberapa daerah yang berbeda tipe ekologinya mungkin dengan 25%
tutupan kanopi sudah disebut hutan) hingga pertanian intensif (di mana tidak
ada pohon pada bentang lahan tersebut). Batasan tersebut sangat jelas terlihat
pada bentang
lahan
di mana terdapat sistem pertanian monokultur yang relatif luas (Gambar 5).
Namun, kenyataannya di lapangan ada bagian transisi atau bagian ‘kelabu’
yang merupakan bentuk campuran dari kedua sistem tersebut (sistem pertanian
terpadu), bahkan seringkali sistem ini justru mendominasi suatu bentang lahan.
Bagian ‘kelabu’ ini dapat dianggap bagian dari kehutanan ataubisa juga
pertanian atau bisa agroforestri. Pembagian yang mutlak ini juga tercermin
dalam pembagian wewenang dari masing-masing Departemen, yaitu Departemen
Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Perkebunan yang sangat jelas
pembagian batasan dan wewenangnya; tetapi sayangnya tidak ada Departemen Agroforestri
yang harus mengurus sistem “kelabu” di atas.
Gambar 5.
Gambar kiri: Tingkat penutupan lahan oleh kanopi pohon berkisar dari 0 hingga
100% sebagai dasar penentuan batas ambang dari kriteria “hutan”. Berdasarkan
definisi terakhir, hutan memiliki tingkat penutupan lahan oleh kanopi pohon
bervariasi antara 20-80%. Gambar kanan: Berbagai pilihan dari kombinasi ketiga
bentuk utama sistem penggunaan lahan yang ada pada tingkat bentang lahan yang
harus memenuhi tuntutan agronomis yang menguntungkan dan lingkungan yang sehat
seperti yang diberikan oleh sistem hutan alami (Van Noordwijk et al.,
2001).
Bila
mengkaji beberapa kondisi yang berkembang di Indonesia saat ini, maka pengembangan
agroforestri di Indonesia mempunyai peluang cukup besar karena adanya beberapa
alasan, antara lain adalah:
· Adanya
perubahan paradigma baru tentang pengelolaan hutan yang lebih mempertimbangkan
pengelolaan sumber daya alam (natural resources management) dan usaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan dapat
memberikan peluang besar untuk pengembangan agroforestri.
·
Meningkatnya kesadaran
tentang pengetahuan lokal petani, membuka kesempatan yang luas untuk
mempelajari praktek agroforestri yang telah berkembang di Indonesia sejak
dahulu kala, yang kemungkinan dapat ditularkan ke tempat lain.
·
Besarnya luasan lahan
terdegradasi (misalnya padang alang-alang dan hutan terdegradasi) memberikan
kesempatan untuk mengikutsertakan agroforestri dalam program rehabilitasi lahan
dan pengelolaan sumber daya alam.
·
Kepedulian global pada
usaha pengurangan konsentrasi CO2 di atmosfer dengan jalan meningkatkan
cadangan karbon (carbon-stock), mengurangi emisi gas rumah kaca, dan
mempertahankan keanekaragaman hayati, telah membuka kesempatan untuk
memanfaatkan cadangan karbon dalam agroforestri yang lebih besar dibandingkan
dengan pertanian intensif.
·
Kepedulian global
terhadap kelestarian alam, dengan memberikan penghargaan terhadap produk yang
dihasilkan dari pertanian ‘hijau’ (termasuk agroforestri) semakin meningkat.
Keunggulan
sistem agroforestri
Sistem agroforestri memiliki beberapa
keunggulan baik dari segi ekologi/lingkungan, ekonomi, sosial-budaya dan
politik.
Keunggulan ekologi/lingkungan (Bahan
Ajaran 3), agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena
agroforestri memiliki:
· Multi-jenis,
artinya memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai
makanan/energi yang lebih lengkap. Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian
mendorong penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Hasil penelitian
Trudy O’Connors (sumber ICRAF) menunjukkan bahwa adanya alih guna lahan hutan
menjadi agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya (Lampung Barat) menyebabkan
berkurangnya jenis burung yang hidup di kebun kopi.
· Multi-strata
tajuk dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih
baik. Selain itu, dengan adanya kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat
mengurangi serangan hama dan penyakit. Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak
pernah terjadi keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak
keseimbangan ekologinya.
· Penggunaan
bentang lahan secara efisien. Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat 'relung' (niches)
yang beragam tergantung pada kesuburan tanah, kemiringan lereng, kerentanan
terhadap erosi, ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’
ini seringkali diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri,
petani memiliki banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam
pada suatu ‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’
tersebut, yang seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga.
Keunggulan ekonomi (Bahan
Ajaran 6), yakni memberi kesejahteraan kepada petani relatif lebih tinggi dan
berkesinambungan, karena agroforestri memiliki:
· Tanaman
yang ditanam lebih beragam, yang biasanya dipilih jenis-jenis tanaman yang
mempunyai nilai komersial dengan potensi pasar yang besar. Keragaman atau
diversifikasi jenis hasil ini akan meningkatkan ketahanan terhadap fluktuasi
harga dan jumlah permintaan pasar. Jadi sebenarnya dengan sistem ini petani
telah menebar risiko, dengan jalan tidak 'meletakkan semua telur unggasnya
dalam satu sarang' (do not put all eggs in one basket). Selanjutnya,
dengan diperolehnya jenis hasil yang beragam dan berkesinambungan ini akan
menjamin pendapatan petani lebih merata sepanjang tahun.
· Kebutuhan
investasi yang relatif rendah, atau mungkin dapat dilakukan secara bertahap.
Keunggulan sosial budaya yaitu
keunggulan agroforestri yang berhubungan dengan kesesuaian (adoptibility)
yang tinggi dengan kondisi pengetahuan, ketrampilan dan sikap budaya masyarakat
petani. Hal ini karena agroforestri memiliki:
· Teknologi
yang fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari sangat intensif untuk masyarakat
yang sudah maju, sampai kurang intensif untuk masyarakat yang masih tradisional
dan subsisten Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis hasil
agroforestri umumnya sudah sangat dikenal dan biasa dipergunakan oleh
masyarakat setempat.
· Filosofi
budidaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif besar dengan biaya
atau pengorbanan yang relatif kecil.
Keunggulan
politis (Bahan Ajaran 3 dan 7). Agroforestri
dapat memenuhi hasrat politik masyarakat luas dan kepentingan bangsa secara
keseluruhan, yakni:
· Agroforestri
dapat dan sangat cocok dilakukan oleh masyarakat luas, adanya pemerataan
kesempatan usaha, serta menciptakan struktur supply yang lebih
kompetitif
· Dapat
meredakan ketegangan atau konflik politik, yang selama ini terus memanas akibat
ketimpangan peran antar golongan dan ketidakadilan ekonomi.
· Kepercayaan
yang diberikan masyarakat akan direspon dengan ‘rasa memiliki’ dan menjaga
sumber daya hutan/lahan yang memberi manfaat nyata kepada mereka.
bentuk masa depan penelitian
agroforestri
Pada masa lalu, penelitian agroforestri
seringkali dikaitkan dengan pengembangan teknologi di tingkat plot yang fokus
utamanya adalah pada pengembangan teknologi agroforestri. Sasaran yang
diharapkan biasanya adalah mencari teknologi terbaik, produksi pohon dan
tanaman lainnya tinggi. Program pembangunan yang didasarkan pada asumsi bahwa
petani perlu dididik untuk menerapkan teknologi baru dan lebih baik, hampir
dapat dipastikan selalu gagal, jika tidak dimulai dengan diagnosa masalah dan
jika jenis modal yang lain tersedia dalam jumlah yang cukup. Hasil adaptasi teknologi
ini tergantung dari banyak faktor lain: sumber daya manusia (kesehatan,
nutrisi, tenaga kerja dan pengetahuan), sumber daya alam (tanah, air, vegetasi,
hewan dan mineral), modal sosial (institusi, kebijakan, kerjasama dan
keadilan), modal finansial (tunai, kredit, cadangan atau tabungan) dan modal
fisik (infrastruktur dan kekayaan). Petani harus memiliki akses ke kelima
bentuk modal tersebut. Program yang mengutamakan teknologi dan peningkatan
produktivitas dari modal alam (tanah, plasma nutfah, dsb) hanya berhasil jika
keempat jenis modal yang lain tersedia dalam jumlah cukup pula. Pengelolaan
parsial diubah ke terpadu Mengingat masalah yang dihadapi di lapangan sangat
kompleks, maka pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara terpadu atau
terintegrasi (INRM, integrated natural resources management)
ada
lima langkah pendekatan pengelolaan sumber daya alam secara terpadu meliputi:
a.
Diagnosis masalah sumber daya alam yang ada di masyarakat dan perspektif dari
para pihak terkait akan masalah tersebut,
b.
Identifikasi beberapa pilihan sistem penggunaan lahan yang ada saat ini dan
sistem lain yang berpotensi untuk memecahkan masalah penurunan sumber daya
alam, termasuk di antaranya sistem agroforestri
c.
Evaluasi keuntungan yang akan diperoleh ditinjau dari 3 segi yaitu produktivitas
dan keberlanjutannya, sosial dan distribusinya, pelayanan lingkungan termasuk
di dalamnya emisi gas rumah kaca, perlindungan terhadap daerah aliran sungai
dan keanekaragaman hayati,
d.
Evaluasi peluang untuk pengembangan sistem yang ditawarkan dengan melihat trend-nya
saat ini, dengan segala pro dan kontranya,
e.
Merencanakan perubahan aturan, insentif dan akses yang hasilnya harus dikembalikan
kepada masyarakat. Hasilnya adalah diberikannya jaminan penguasaan lahan yang
jelas kepada masyarakat, beban pajak yang sesuai, ecolabelling dan
dukungan infrastruktur.
Untuk mempengaruhi keputusan tersebut
secara positif, dan untuk menghilangkan semua pembatas dan hambatan, beberapa
aspek mungkin perlu diubah:
· Konteks
sosial, akses pada lahan dan sumber daya produksi yang lebih kondusif untuk
menyelesaikan konflik penggunaan sumber daya setempat.
· Akses
pada pasar yang ‘sehat’, yang tergantung pada infrastruktur, kelembagaan lokal
dan kebijakan makro, juga akses untuk selalu memperbaharui informasi
· Pengetahuan
umum, pemahaman akan adanya berbagai pilihan dan kemampuan untuk belajar dan
memperoleh pengetahuan baru Informasi akan teknologi spesifik dan bagaimana
mendapatkan input yang dibutuhkan (termasuk plasma nutfah pohon yang
berkualitas tinggi).
pendekatan
dalam pengembangan agroforestri
1.
Pendekatan komoditi
Pendekatan
komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai lembaga penelitian
pertanian nasional ataupun internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya
hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh,
karet, padi, dsb.
2. Pendekatan
pengelolaan lahan pada tingkat petani
Pendekatan lainnya adalah berpusat pada
‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’, yang memprioritaskan
petani (farmer first).
ada empat faktor yang mempengaruhi
petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi,
menolak,
mengadaptasi atau mengembangkan sistem agroforestri, yaitu :
a.
Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun
informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang
dimiliki, dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan.
b.
Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan
lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.
c.
Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan
ketersediaan kredit.
d.
Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu
petani dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.
3.Pendekatan tingkat bentang lahan
Sistem ini muncul beberapa dekade
belakangan ini sebagai dasar untuk Pengelolaan Sumber Daya Terpadu (PSDT) yang
melibatkan berbagai pihak terkait, yang terlibat dalam penyelesaian ‘konflik’,
maupun dalam pemberian ‘penghargaan’ untuk suatu keberhasilan. Agroforestri
mungkin dapat menjadi solusi pada skala ini, tetapi juga dapat menimbulkan
masalah.
4.Pendekatan proses pemerintahan
Adanya kebijakan dan peraturan tentang
pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan akan membentuk kondisi pembatas
bagi agroforestri. Untuk menghilangkan pembatas tersebut, terutama pada lahan
kering dibutuhkan suatu mekanisme untuk menghubungkan antara kebutuhan dan
penyediaan fungsi layanan lingkungan melalui penggunaan lahan. Pemberdayaan masyarakat
nampaknya mutlak diperlukan untuk mengusahakan pengelolaan sumber daya alam
yang terpadu.
0 Comments On "PROSPEK PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI INDONESIA"
Posting Komentar